Kamis, 03 Juni 2010

askep jiwa napza

A. Pengertian Penyalagunaan Zat
Penyalahgunaan zat adalah pengunaan zat secara terus-menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah.ketergantungan zat menunjukkan kandisi yang parah dan sering diangap sebagal penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikosasial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk. memperuleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart & Sundeen, 1998).

B. Rentang Respons Gangguan Penggunaan NAPZA
Rentang respon penggunaan NAPZA berfluktuasi dari kondisi yang yang ringan sampal yang berat. indikator ini berdasarkan perilaku yang ditunjukkan oleh pengguna NAPZA.
1. Respon Adaptif
2. Respon Maladaptif
Eksperimental, Rekreasional, Situasional, Peyalahgunaan, Ketergantungan (Sumber: Yosep, 2007)
Eksperimental: Kondisi pengguna taraf awal. yang disebabkan rasa ingin tahu dari remaja. Sesuai kebutuhan pada masa tumbuh kembangnya, biasanya ingin mencari pengalaman yang baru atau sering dikatakan taraf caba-coba.
Rekreasional: Penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman sebaya. misalnya pada waktu pertemuan malam mingguan, acara ulang tahun. Penggunaan ini mempunyai tujuan rekreasi bersama teman-temannya.
Situsional: Mempunyai tujuan secara individual. sudah merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri. Seringkali penggunaan ini merupakan cara untuk elarikan diri atau mengatasi masalah yang dihadapi. Misalnya individu menggunakan zat pada saat sedang mempunyai masalah, stress dan frustasi.
Penyalahgunaan: Pengguuaan zat yang sudah cukup patologis. sudah mulai digunakan secara rutin, minimal selama I bulan, sudah terjadi penyimpangan perilaku mengganggu fungsi dalam peran di lingkungan sosial. pendidikan. dan pekerjaan.
Ketergantungan: Penggunaan zat yang sudah cukup berat. Telah terjadi ketergantungan fisik dan psikalogis. Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus zat (suatu kondisi dimana individu yang biasa menggunakan zat adiktif secara rutin pada dosis tertentu menurunkan jumlah zat yang digunakan atau berhenti memakai, sehingga menimbulkan kumpulan gejala sesuai dengan macam zat yang digunakan. Sedangkan toleransi adalah suatu kondisidari individu yang mengalami peningkatan dosisi (jumlah zat) untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkan.

C. Jenis-Jenis NAPZA
NAPZA dapat dibagi kedalam beberapa golongan yaitu :
1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami. sintetis maupun sintetis yang dapat manyebatakan turunnya kesadaran. manghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan maupun perubahan kesadaran, hilangnya asa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Wresniwira dkk. l999).
Golongan Narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah :
1) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isalasi dan proses lain terlebih dahulu karana bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh dlutamakan untuk terapi pengobatan secara langsung karena terlalu beresiko. Contoh narkotika alami yaita seperti ganja dan daun koka.
2) Narkatika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan penelitian sebagai pengnhilang rasa sakit analgesik. Contonnya yaitu seperti amfetamin, metadon, dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya. Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai berikut :
a. Depresi = Membuat pemakaian tertidur atau tidak sadar
b. Stimulan = Membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan merasa badan lebih segar.
c. Halusinogen = Dapat membuat si pemakai berhalusinasi yang mengubah perasaan serta pikiran.
3) Nankotika semi sintetis yaltu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi. ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.

2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah zat atau obat, baik sintasis maupun semi sintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari, 2006) adalah stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam galongan stimulan adalah amphetamine, ektasi (Metamfetamin) dan Fenfluramin. Apmhetamin sering disebut dengan speed. shabu-shabu. whiz. dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah halusinogen dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu. Sedative dan hipnotika seperti berbiturat dan benzodiazepine merupakan golongan stimulant yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.

3. Zat Adaptif Lainnya
Zat adiktif lainnya adalah zat bahan kimia, dan bialogi dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan lingkunqan hidup secara langsung dan tidak lansung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik, mutagenic, kurasif, dan iritasi. Bahan-bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikotropika, tetapi mempunyai pengaruh dan efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wrasniworo dkk, 1999) yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohal) yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir, green san minuman teras golangan B (kadar ethanol labih dari 5% sampai 20%) seperti anggur malaga; dan minuman. keras goloangan C (kadar ethanol lebih dari 20% sanipai 55%) seperti brandy. wine. whisky Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehaoi-haoi bila kadarnya dalam darah mencapai 11.5% dan hampir semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0.11%
(Marviana dkk. 2000) Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.


D. Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA
Faktor yang menyebabkan sesearang menjadi pecandu narkoba yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1. Faktar Internal
a. Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini lebih cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang tarhambat. dengen ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung depresi. juga turut mempengaruhi. Selain itu. Kamampuan untuk memecahkan masaleh aecara adakuat berpengaruh terhadap baqaimana ía mudah mencari pemecahan masalah dengan cara melarikan diri.
b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang datang untuk melekukan kanseling di klinik rehabilitasi pada umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok usianya.
c. Usia
Mayoritas Pecandu Narkoba adalah ramaja. Alasan remaja menggunakan narkoba karena kandisi social psikalogis yang membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi, sementara pada usia yang lebih tua narkoba digunakan sebagai obat penenang,
d. Dorongan kenikmatan dun Perasaan Ingin Tahu
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi atau kebutuhan yang utema.
e. Pencegahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba untuk menyelasaikan persoalan. Hal ini disebabkan karena pengaruh narkoha dapat menurunkan tingkat kesadaran dan membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.


2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menyjadi penyabab seeorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang berisiko tinggi anggota keluargannya terlibat penyalahgunaan narkoba yaitu :
1) Keluarga yang memiliki riayat (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kcau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibunya (Misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak)
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyalesaian yang memuaskan samua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah den anak, ibu dan anak, maupun antar seudara.
4) Keluarga dangan orang tua yang atoriter. Dalam hal ini, peran orang tua sangat dominan, dangan anak yang hanya sakadar harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat. atau demi kemajuan dan masa dapan anak itu sendiri tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.
5) Keluarga yang perfeksionis. yaitu ketuarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal.
6) Keluarga yang neurosis, yaltu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu.
b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar banyak dalam delinquet dan penggunaan obat-abatan. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor spsial tersebut memiliki dampak yang berarti kepada keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan yang kemudian mengakibatkan timbulnya katengantungan fisik dan psikologis.
Sinaga (2007) melaporkan bahwa faktor penyebab penyalahgunaan NAPZA pada remaja adalah teman sebaya {78,1%) Hal nii meninjukkan betapa besarnya pengarub teman klompoknya sehingga remaja menggunakan narkoba. Hasil penelitian ini relevan dengan studi yang dilakukan oleh Hawari (1990) yang memperlihatkan bahwa teman kelompak yang menyebabkan remaja memakai NAZPA mulai dari tahap coba-coba sampai ketagihan.
c. Faktor Kesempatan
Katersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga dapat disebut sebagai pamicu seseorang menjadi pecandu. Indonesia yang sudah manjadi tujuan pasar narkobaa internasianal. menyebabkan obat-abatan ini muda diperaleh. Bahkan beberape media massa melaporkan bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah. termasuk di Sekalah Besar. Pengalaman feel goof mencoba drugs akan semakin memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan akhirnya menjadi pecandu. Saseorang dapat menjadi pecandu karena disebabkan aleh beberapa faktar sekaligus atau secara bersamaan. Karena ada juga faktor yang muncul beruntun akibat dari sub faktor tententu.

E. Tanda dan Gejala
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain inteksikasi, ada juga sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat yang berbeda.
Tebel 1. Tanda dan Gejala lntoksikasi
Opiat
Ganja
Sedatif-Hipnotik
Alkohol.

• Eforia
• Mengantuk
• Bicara cadel
• Konstipasi
• Penurunan kesadaran
• Eforia
• Mata merah
• Mulut kering
• Banyak bicara dan tertawa
• Nafsu makan meningkat
• Gangguan persepsi
• Pegendalian diri berkurang
• Jalan sempoyongan
• Mengantuk
• Memperpanjang tidur
• Hilang kesadaran
• Mata merah
• Bicara cadel
• Jalan sempoyongan
• Perubahan persepsi
• Penurunan kemampuan menilai
• Selalu terdorong untuk bergerak
• Berkeringat
• Bergetar
• Cemas
• Depresi
• Paranoid

Tabel 2. Tanda dan gejala Putus Zat
Opiat
Ganja
Sedatif-Hipnotik
Alcohol
Amphetamine

• Nyeri
• Mata dan hidung berair
• Perasaan panas dingin
• Diare
• Gelisah
• Tidak bisa tidur
• Jarang ditemukan
• Cemas
• Tangan gemetar
• Perubahan persepsi
• Gangguan daya ingat
• Tidak bias tidur
• Cemsa
• Depresi
• Muka merah
• Mudah marah
• Tangan gemear
• Mual muntah
• Tidak bisa tidur
• Cemas
• Depresi
• Kelelahan
• Energy berkurang
• Kebutuhan tidur meningkat

F. Dampak Penyalahgunaan NAPZA
Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan NAPZA mempunyai dampak yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan), serta masyarakat, bangsa dan Negara.
Bagi diri sendiri. Penyalahguaan NAPZA dapat mengakibatkan terganggunya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya, intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku (mental sosial), gangguan kesehatan, menurunnya nilai-nilai dan masalah ekonomi dan hukum. Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan/jenis: 1) Upper yaitu jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin, 2) Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang memakai jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan 3) Halusinogen adalah napza yang beracun karena lebih menonjol sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.
Bagi keluarga. Penyalahgunaan NAPZA dalam keluarga dapat mengakibatkan suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa malu karena memiliki anak pecandu, merasa bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan anak mereka. Stress keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran yang meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali dirawat atau bahkan menjadi penghuni di rumah tahanan maupun lembaga permasyarakatan.
Bagi pendidikan atau sekolah. NAPZA akan merusak disiplin dan motivasi yang sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan NAPZA berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosiasi lain yang menganggu suasana tertib dan aman, rusaknya barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.
Bagi masyarakat, dan negara. Penyalahgunaan NAPZA mengakibatkan terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar gelap perdagangan NAPZA yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam.
Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakat tidak produktif, kejahatan meningkat serta sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah tersebut.

G. Penanggulangan Masalah NAPZA
Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan sampai pemulihan (rehabilitasi).
1. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan :
a. Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang NAPZA.
b. Deteksi dini perubahan perilaku
c. Menolak tegas untuk mencoba (“Say no to drugs”) atau “Katakan tidak pada narkoba.

2. Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu :
a. Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang mengalami gejala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti sendiri.
b. Detoksifikasi dengan substitusi
Patau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon, substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat yang menghilangkan gejalasimptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri, rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat putus zat tersebut.

3. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu mellaui pendekatan non medis, psikologis, social dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantunga dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memilikitenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes, 2000).
Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan konsultasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pascadetoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2003).
Lama rawat di unit rehabiliasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas, dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2003), bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumsah sakit, pusat rehabilitasi, dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun.
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawat di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada bagian di bawah ini (bagan 1).
Bagan 1. Alur Perawatan Klien di Rumah Sakit
Klien datang ↑ Ke RS
Perawatan
Detoksifikasi
Perawatan rehabilitasi
(ruang rehabilitasi)

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA oleh karena rasa rindu (crawing) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2000). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat :
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik alam pergaulan dengan lingkungannya

Jenis program rehabilitasi:
a) Rehabilitasi psikososial
Program rehabilitasi psikososial merupakan persiapan untuk kembali ke masyarakat (reentry program). Oleh karena itu, klien perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan misalnya dengan berbagai kursus atau balai latihan kerja di pusat-pusat rehabilitasi. Dengan demikian diharapkan bila klien selesai menjalani program rehabilitasi dapat melanjutkan kembali sekolah/kuliah atau bekerja.
b) Rehabilitasi kejiwaan
Dengan menjalani rehabilitasi diharapkan agar klien rehabilitasi yang semua berperilaku maladaptif berubah menjadi adaptif atau dengan kata lain sikap dan tindakan antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat bersosialisasi dengan sesama rekannya maupun personil yang membimbing dan mengasuhnya. Meskipun klien telah menjalani terapi detoksifikasi, seringkali perilaku maladaptif tadi belum hilang, keinginan untuk menggunakan NAPZA kembali atau craing masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan depresi serta tidak dapat tidur (insomnia) merupakan keluhan yang sering disampaikan ketika melakukan konsultasi dengan psikiater. Oleh karena itu, terapi psikofarmaka masih dapat dilanjutkan, dengan catatan jenis obat psikofarmaka yang diberikan tidak bersifat adiktif (menimbulkan ketagihan) dan tidak menimbulkan ketergantungan. Dalam rehabilitasi kejiwaan ini yang penting adalah psikoterapi baik secara individumaupun secara kelompok. Untuk mencapai tujuan psikoterapi, waktu 2 minggu (program pascadetoksifikasi) memang tidak cukup, oleh karena itu,perlu dilanjutkan dengan waktu 3-6 bulan (program rehabilitasi). Dengan demikia dapat dilaksanakan bentuk psikoterapi yang tepat bagi masing-masing klien rehabilitasi. Yang termasuk rehabilitasi kejiwaan ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga yang dapat dianggap sebagai rehabilitasi keluarga terutama keluarga broken home. Gerber (1983 dikutip dari Hawari, 2003) menyatakan bahwa konsultasi keluarga perlu dilakukan agar keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang mengalami penyalahgunaan NAPZA.
c) Rehabilitasi komunitas
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat. Dipimpin oleh mantan pemakai yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai koselor, setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan. Tenaga profesional hanya sebagai kansultan saja. Di sini klien dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan mengunakan narkoba lagi atau nagih (craving) dan mencegah relaps. Dalam program ini semua kilen ikut aktif dalam proses terapi. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya, penghargaan bagi yang berperilaku positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.
d) Rehabilitasi keagamaan
Rehabilitasi keagamaan masih perlu dilanjutkan karena waktu detoksifikasi tidaklah cukup untuk memulihkan klien rehabilitasi menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan agamanya masing-masing. Pendalaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini dapat menumbuhkan kerohanian (spiritual power) pada diri seseorang sehingga mampu menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan NAPZA apabila taat dan rajin menjalankan ibadah, risiko kekambuhan hanya 6,83%; bila kadang-kadang beribadah risiko kekambuhan 21,50%, dan apabila tidak sama sekali menjalankan ibadah agama risiko kekambuhan mencapai 71,6%.


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN PENYALAHGUNAAN DAN KETERGANTUNGAN NAPZA


A. Pengkajian
1. Kaji situasi kondisi penggunaan zat
 Kapan zat digunakan
 Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah
 Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara
2. Kaji risiko yang berkaitan dengan penggunaan zat
 Berbagi peralatan suntik
 Perilaku seks yang tidak nyaman
 Menyetir sambil mabuk
 Riwayat over dosis
 Riwayat serangan (kejang) selama putus zat
3. Kaji pola penggunaan
 Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan malam)
 Penggunaan selama seminggu
 Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai di depan TV)
 Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan NAPZA setelah berjalan melalui rumah Bandar)
 Kehadiran atau bertemu orang-orang tertentu (mantan pacar, teman pakai)
 Adanya pikiran-pikiran tertentu (“Ah, sekali nggak bakal ngerusak” atau “Saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make”)
 Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan)
 Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur atau stress yang berkepanjangan)
4. Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila tidak menggunakan

B. Diagnosa Keperawatan
Koping Individu tidak efektif: belum mampu mengatasi keinginan menggunakan zat.


C. Tindakan Keperawatan
Strategi Pertemuan 1- klien:
1) Mendiskusikan dampak penggunaan NAPZA bagi kesehatan, cara meningkatkan motivasi berhenti, dan cara mengontrol keinginan.
2) Melatih cara meningkatkan motivasi dan cara mengontrol keinginan
3) Membuat jadwal latihan

Latihan SP 1-Klien
Orientasi
“Selamat pagi Dik, perkenalkan saya suster M”. “Nama adik siapan?” “Lebih senang dipanggil apa” “Bagaimana keadaan kamu pagi ini?” “Kalau A tidak keberatan, selama 20 menit kedepan kita akan bercakap-cakap tentang kesehatan A?” “Bagaimana kalau kita bercakap-cakap di teras depan ruangan A?”
Kerja
“Apa yang biasa A pakai sebelum masuk ke pusat rehabilitasi ini?” “Ganja?””Apakah ada keluhan dengan kesehatan A?” “Bagaimkana hubungan A dengan teman-teman A?” “Bagaimana dengan sekolah A?” “Sejak kapan A menggunakan ganja?” “Pada situasi yang bagaimana timbul keinginan A menghisap ganja?” “Apa saja akibat yang A rasakan kalau menghisap ganja?” Koping individu tidak efektif: belum mampu mengatasi keinginan menggunakan zat.

“Apakah A ingin berhenti?” “Bagus!” “Berapa kali A mencoba berhenti?” “Bagaimana perasaan A ketika tidak menghisap ganja?” Apa yang menyebabkan A memakai ganja lagi?” “Baiklah kalau begitu, Suster akan jelaskan akibat kesehatan yang dapat terjadi. (Jelaskan sesuai jenis NAPZA yang dipakai, tabel 1 dan 2). “Yang mana yang sudah A alami?” “Jadi A ingin coba berhenti?”
“Sekarang mari kita bicarakan apa-apa saja yang masih dapat dibanggakan dari A, kita mulai dari :
• Diri A: “Coba A lihat aspek positif yang masih A miliki.” “Betul A masih sangat muda, punya pendidikan, sehat daan masa depan yang cerah sedang menunggu kamu,m bagus sekali.”
• Keluarga A: “A masih punya ayah, ibu, dan saudara-saudara kamu yang begitu perhatian dengan kami”. “Ternyata banyak sekali hal positif yang ada pada A” “Sekarang bagaimana kalau A berlatih mensyukuri hal positif yang ada pada A” “Katakan saya masih muda, saya harus berhenti!”


“Bagaimana kalau kita teruskan diskusi tentang cara-cara menghindari penggunaan ganja.” “Ada beberapa cara yaitu :
1. Hindari teman-teman A yang menawarkan ganja
2. Kunjungi teman-teman yang tidak menggunakan
3. Bicara pada teman-teman yang berhasil berhenti
4. Kalau pergi keluar dari rumah sebaiknya ditemani keluarg
“Selain itu lakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat.” “Apa contohnya A?” “Bagus!” “Mari kita buat jadwal kegiatannya.”
Terminasi
“Bagaimana perasaan A setelah bercakap-cakap?” “Baguis sekali.” “Nah, suster mau tanya lagi:
“Coba A sebutkan kembali hal-hal positif yang masih A miliki!” “Bagus sekali” “Yang mana yang mau dilatih?” “Saya bisa berhenti.” (Afirmasi).
“Sekarang coba sebutkan kembali cara menghindari penggunaan ganja! “Benar” “Yang mana yang mau dilatih” “Nah, masukkan dalam jadwal latihannya dan dicoba” “Besok pagi suster akan datang kembali, kita akan diskusikan lagi hasil latihannya dan kita latih cara yang lain.” “Bagaimana A” “Baiklah kalau begitu besok jam 11.00 kita ketemu ya.” “Sampai jumpa”
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat untuk membantu klien mengatasi craving / nagih (keinginan untuk menggunakan kembali NAPZA) adalah sebagai berikut: 1) identifikasi rasa nagih muncul, 2) ingat diri sendiri, rasa nagih normal muncul saat kita berhenti, 3) ingatlah rasa nagih seperti kucing lapar, semakin lapar, semakin diberi makan semakin sering muncul, 4) cari seseorang yang dapat mengalihkan dari rasa nagih, 5) coba menyibukkan diri saat rasa nagih datang, 6) tundalah penggunaan sampai beberapa saat, 6) bicaralah pada seseorang yang dapat mendukung, 7) lakukan sesuatu yang dapat membuat rileks dan nyaman, 7) kunjungi teman-teman yang tidak menggunakan narkoba, 8) tontonlah video, ke bioskop atau dengar musik yang dapat membuat rileks, 9) dukunglah usaha anda untuk berhenti sekalipun sering berakhir dengan menggunakan lagi, 10) bicara pada teman-teman yang berhasil berhenti, dan 11) bicaralah pada teman-teman tentang bagaimana mereka menikmati hidup atau rilekslah untuk dapat banyak ide.
Menurut Keliat dkk. (2006). Tujuan tindakan keperawatan untuk keluarga adalah sebagai berikut:
1) Keluarga dapat mengenal masalah ketidakmampuan anggota keluarganya berhenti menggunakan NAPZA.
2) Keluarga dapat meningkatkan motivasi klien untuk berhenti.

3) Keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien NAPZA.
4) Keluarga dapat mengidentifikasi kondisi pasien yang perlu dirujuk

Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan pada keluarga antara lain :
1) Diskusikan tentang masalah yang dialami keluarga dalam merawat klien.
2) Diskusikan bersama keluarga tentang penyalahgunaan/ketergantungan zat (tanda, gejala, penyebab, akibat) dan tahapan penyembuhan klien (pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi).
3) Diskusikan tentang kondisi klien yang perlu segera dirujuk seperti: intoksikasi berat, misalnya penurunan kesadaran, jalan sempoyongan, gangguan penglihatan (persepsi), kehilangan pengendalian diri, curiga yang berlebihan, melakukan kekerasan sampai menyerang orang lain. Kondisi lain dari klien yang perlu mendapat perhatian keluarga adalah gejala putus zat seperti nyeri (Sakau), mual sampai muntah, diare, tidak dapat tidur, gelisah, tangan gemetar, cemas yang berlebihan, depresi (murung yang berkepanjangan).
4) Diskusikan dan latih keluarga merawat klien NAPZA dengan cara: menganjurkan keluarga meningkatkan motivasi klien untuk berhenti atau menghindari sikap-sikap yang dapat mendorong klien untuk memakai NAPZA lagi (misalnya menuduh klien sembarangan atau terus menerus mencurigai klien memakai lagi); mengajarkan keluarga mengenal ciri-ciri klien memakai NAPZA lagi (misalnya memaksa minta uang, ketahuan berbohong, ada tanda dan gejala intoksikasi); ajarkan keluarga untuk membantu klien menghindar atau mengannkan perhatian dari keinginan untuk memakai NAPZA lagi, anjurkan keluarga memberikan pujian bila klien dapat berhenti walaupun 1 hari, 1 minggu atau 1 bulan; dan anjurkan keluarga mengawasi klien minum obat.

Strategi Pertemuan dengan Pasien dan Keluarga Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA
Tanggal/Bulan
No.
Kemampuan Pasien dan Keluarga
A Pasien
Sp1
1. Membina hubungan saling percaya
2. Mendiskusikan dampak NAPZA
3. Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi
4. Mendiskusikan cara mengontrol keinginan
5. Latihan cara meningkatkan motivasi
6. Latihan cara mengontrol keingan
7. Membuat jadwal aktivitas
Sp 2
1. Mendiskusikan cara menyelesaikan masalah
2. Mendiskusikan cara hidup sehat
3. Latihan cara menyelesaikan masalah
4. Latihan cara hidup sehat
5. Mendiskusikan tentang obat

B Keluarga
Sp 1
1. Mendiskusikan masalah yang dialami
2. Mendiskusikan tentang NAPZA
3. Mendiskusikan tahapan penyembuhan
4. Mendiskusikan cara merawat
5. Mendiskusikan kondisi yang perlu dirujuk
6. latihan cara merawat
Sp 2
1. Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi
2. Mendiskusikian pengawasan dalam minum obat
(Sumber: Keliat dkk, 2006)

D. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari klien adalah sebagai berikut :
1. Klien mengetahui dampak NAPZA
2. Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti menggunakan NAPZA
3. Klien mampu mengontrol kemampuan keinginan menggunakan NAPZA kembali
4. Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif
5. Klien dapat menerapkan cara hidup yang sehat
6. Klien mematuhi program pengobatan

Evaluasi yang diharapkan dari keluarga adalah sebagai berikut :
1. Keluarga mengetahui masalah yang dialami klien
2. Keluarga mengetahui tentang NAPZA
3. Keluarga mengetahui tahapan proses penyembuhan klien
4. Keluarga berpartisipasi dalam merawat klien
5. Keluarga memberikan motivasi pada kilien untuk sembuh
6. Keluarga mengawasi klien dalam minum obat

E. Dokumentasi Asuhan Keperawatan
CATATAN KEPERAWATAN
Nama Klien : AY
Nama Ruang : Anggrek
No. RM : 02-02-7788
Tanggal : 08-08-2008
Data
Ay (20 tahun) mahasiswa salah satu PTS di Kota Medan sudah 2 tahun terakhir ioni menggunakan shabu-shabu. Sebelum menggunakan shabu-shabu, klien mengkonsumsi ectasy. Keluarga sudah 2 kali membawa AY ke patni rehabilitasi untuk mendapat pengobatan. Biasanya setelah menjalani rehabilitasi klien berhenti menggunakan shabu-shabu. Akan tetapi waktunya tidak lama paling lama 6 bulan. Ini kali ketiga klien dirawat dip anti rehabilitasi. Klien mengatakan sudah berusaha untuk menghentikan kebiasaan mengkonsumsi shabu-shabu. Tetapi keinginan itu tidak bertahan lama karena dia sering ketemu dan berkumpul bersama teman-teman pemakai NAPZA. Klien sulit untuk menolak ajakan teman-temannya.

Diagnosa Keperawatan :
Koping individu tidak efektif: belum mampu mengatasi keinginan menggunakan zat.

Tindakan Keperawatan :
1. Mendiskusikan tentang dampak penggunaan NAPZA bagi kesehatan
2. Mendiskusikan tentang cara meningkatkan motivasi untuk berhenti
3. Mendiskusikan tentang cara menghindar dari teman-teman pemakai NAPZA
4. Mendiskusikan tentang cara penyelesaian masalah secara sehat
5. Mendiskusikan tentang gaya hidup yang sehat
6. Melatih cara untuk menghindar dan mengontrol keinginan menggunakan NAPZA kembali
7. Melatih cara menyelesaikan masalah: dicurigai/dituduh menggunakan NAPZA kembali oleh keluarga/sekolah/pekerjaan.


Evaluasi :
S : Klien berjanji akan menghindari teman-temannya yang masih menggunakan NAPZA.
O : Klien tampak tidak mau menemui teman kelompoknya ketika berkunjung untuk menjenguknya di panti rehabilitasi.
A : Keinginan untuk menggunakan kembali NAPZA terkadang muncul.
P : Menganjurkan klien untuk menambah kegiatan yang bersifat positif seperti aktif dalam kegiatan ibadah dipanti rehabilitasi, olahraga melanjutan kembali membua jadwal kegiatan klien.

Tanda tangan :
Nama Perawat :

Rabu, 02 Juni 2010

asuhan keperawatan pada pasien gastroenteritis

1. LANDASAN TEORI GASTROENTERITIS
A. PENGERTIAN
- GE (Diare) adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlrbihan yang terjadi karena frekwensi satu atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang encer atau cair.
(Suridi, skp, Rita yuliana skp, 2001)
- Diare adalah depekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan atau tanpa darah dajn lendir dalam tinja.
B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya diare:
1. infeksi
- virus (rota virus, adeno virus)
- bakteri (shigella, salmonella, Ecoli, Vibrio)
- parasit (protozoa, E hysfotilika, G lambung, balantidium, dan jamur kandida)
2. mal absorbsi : kabohidrat, lemak, atau protein.
3. imunodefisiensi
4. makanan : makanan besi, beruen, alergi terhadap makanan.
5. iritasi lambung pada saluran pencernaan oleh makanan
6. psikologis : rasa takut dan cemas.

C. PATOFISIOLOGI
Penularan gastreoenteritis bias melalui pekal oral dari satu penderita ke penderita lainnya. Beberapa kasus di temui bebrapa penyebaran phatogen di karenakan makaanan dan minuman yang berkontaminasi.

Mekanisme dasar dari penyebab timbulnya diare adalah gangguan asmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggkat, sehingga terjadi penggeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus berlebihan sehingga timbul diare).

Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan mutilitas usus yang mengakibatkan hiperalstatik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis, metabolic, hopokalemia). Gangguan gizi kurang, uot put berlebih, hiperglekimia dan gangguan sirkulasi darah.
D. Kompikasi
- dehidrasi
- hipokalemia
- shok hipofolemik
- asidosis
E. manifestasi klinis
- sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair dan encer
- terdapatnya tinja dan gejala dehidrasi turgor kulit jelek ( elastisitas menurun)ubun-ubun dan mata cekung dan mukosa kering
- keram abdomen
- demam
- mual dan muntah-muntah
- anoreksia
- lemah, pucat
- perubahan tanda-tanda vital ( nadi, pernapasan cepat )


F. pemeriksaan diagnostik
- pemeriksaan alergi pada obat-obatan atau makanan
- kultur tinja
- pemeriksaan elektrolit: bun creatinine, dan glukosa
- pemeriksaan tinja Hp, leukosit, glukosa dan adanya darah.
G. Pelaksanaan
- penanganan focus pada penyebab
- pemberian cairan dan elektrolit "oral" (seperti pediatril atau oralit) atau terapi parenteral.
- Pada bayi pemberian asih di teruskan jika penyebabnya bukan dari asi.

2. TEORI ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, alamat dan pekerjaan
2. Jeluhan utama diare 75 X sehari
3. Riwayat kesehatan sekarang, keluhan-keluhan yang di rsakan saat di kaji; diaare kulit jelek, nafsu makan nkurang dan sejak kapan keluhan dirasakan.
4. Riwayat penyakit terdahulu
Penyakit-penyakit apa saja diderita klien sebelumnya,keadaan yang berkaitan dengan kondisi sekarang.
5. Riwayat penyakit keluarga
Angapan kelurga klien yang menderita penyakit seperti klien
6. Riwayat psikososial dan spiritual
 Kehidupan bermasyarakat ( jumlah penduduk yang padat dan normal )
 Kebersihan diri dan lingkungan ( minum air yang mentah dan sanitasi linkungan yang jelek ).
7. Pola fungsi kesehatan
 Pola nutrisi ( makan dan minum ).
 Pola eliminasi.
 Pola aktifitas.
 Pola istrahat dan tidur.
 Pola persepsi dan konsep diri.
 Pola sensasi dan kognetif.
 Pola hubungan peran.
 Pola reproduksi dan seksual.
 Pola tata nilai dan kepercayaan.

8. Pemeriksaan fisik
 Keadaan umur klien.
 Tanda-tanda fital.
 Suhu badan kadang-kadang meningkat.
 Denyut nadi meningkat.
 Tekana darah menurun.
 System respirasi pernapasan meningkat.
 System kardivaskuler.

9. Pengobatan
 Obat yang digunakan.
 Anti diare.
 Anti dotum.
 Anti pirefik.
 Anti biotic.
 Oralit dll.

B. PEMGUMPULAN DATA
 Data obyektif.
o Diare 75x/ hari.
o Suhu badan meningkat.
o Nadi meningkat.
o Respirasi meningkat turgor kulit jelek.
o Bibir kering.
o Perut kembung.
o Penurunan berat badan.
o Mata cekung.
o Muntah.
o Keadaan umum lemah.
 Data subyektif
o Buang air besar sering, konsistensi cair,tidak berampas.
o Mual muntah.
o Nafsu makan kurang.
o Suka rewel pada anak-anak.
o Suka gelisah pada orang dewasa.
o Kurang tidur.
o Buang air kecil kurang dari biasanya.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN.
 Kurangnya volume cairan elektrolit berhubungan dengasn kehilangan sekunder akibat muntah diare.
 Resiko terjadinya peningkatan suhu tubuh ( hipertemia ).
 Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan sering kali buang air besar.
 Perubahan nutrisi berkurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan menurunya absorbsi makanan cairan.
 Cemas dan takut pada anak atau orang tua berhubungan dengan houspitalisasi dengan kondisi sakit.

D. PERENCANAAN.
 Keseimbangan cairan dapat diperlukan dalam batas normal yang ditandai dengan pengeluaran urin sesuai pengisian kembali kapiler ( capillarirefill ) kurang dari 2 detik.
 Pada anak tidak menunjukan gangguan integritas kulit yang ditandai denga kulit yang utuh dan tidak lecet.
 Tidak terjadi penularan diare pada orang lain.
 Klien ( pada anak ) akan toleran dengna diet sesuai dengan ditandai dengan batas normal dan tidak terjadi kekembungan diare.
 Keluarga dapat berpatisipasi dalam perawatan anak.
 Anak dnegan orang tua atau klien dengan keluarga menunjakan rasa cemas atau takut berkurang yang ditandai dengan orang tua atau keluarga klien aktif merawat anak dan bertanya pada perawat atau dokter tentang kondisi dan klarifikasi pada tidak menangis lagi.
E. IMPLEMENTASI
 Meningkatkan dehidrasi dan keseimbangan cairan dan elektrolit.
 Mempertahan kan keutuhan kulit atau mempertahankan integritas kulit.
 mengurangi dan mencegah penyebab penyakit.
 Meningkatkan kebutuhan nutrisi yng optimal.
 Meningkatkan pengetahuan keluarga, orang tua atau klien.
 Menurunkan rasa takut atau cemas pada klien.

F. EVALUASI
 Volume cairan dan elektrolit kembali normal sesuai kebutuhan.
 Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan.
 Integritas kulit kembali normal.
 Rasa nyaman terpenuhi.
 Pengetahuan kelurga meningkat.
 Cemas pada klien teratasi.



















Daftar pustaka

Patologi sumber Dr Ashwel and Baoke 1997, Nursing Care Of children.
Sundi skp, Rita Yuliana, Skp 2001 praktek Askep pada Anak.
Mansyur Arif dkk. Buku Kapita Selekta Kedokteran jilid 1. Jakarta, Media aesculapies FKUI 2001.

askep ibu dengan letak sumsang

Pengertian
Letak sungsang adalah letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang terendah (presentase bokong). Letak sungsang dibagi sebagai berikut :
1. Letak sungsang murni yaitu bokong saja yang menjadi bagian depan sedangkan kedua tungkai lurus keatas.
2. Letak bokong kaki
3. Letak lutut
4. Letak kaki
Frekuensi letak sungsang murni lebih tinggi pada kehamilan muda dibanding kehamilan tua dan multigravida lebih banyak dibandingkan dengan primigravida.

B. Etiologi
Penyebab letak sungang :
1. Fiksasi kepala pada pintu atas panggul tidak baik atau tidak ada, misalnya pada panggulsempit, hidrosefalus, plasenta previa, tumor – tumor pelvis dan lain – lain.
2. Janin mudah bergerak,seperti pada hidramnion, multipara, janin kecil (prematur).
3. Gemeli (kehamilan ganda)
4. Kelainan uterus, seperti uterus arkuatus ; bikornis, mioma uteri.
5. Janin sedah lama mati.
6. sebab yang tidak diketahui.

C. Klasifikasi
1. Letak bokong (Frank Breech)
Letak bokong dengan kedua tungkai terangkat keatas ( 75 % )
2. Letak sungsang sempurna (Complete Breech)
Letak bokong dimana kedua kaki ada disamping bokong (letak bokong kaki sempurna / lipat kejang )
3. Letak Sungsang tidak sempurna (incomplete Breech)
adalah letak sungsang dimana selain bokong bagian yang terendah juga kaki dan lutut, terdiri dari :
- Kadua kaki : Letak kaki sempurna
Satu kaki : Letak kaki tidak sempurna
- Kedua lutut : Letak lutut sempurna
Satu lutut : Letak lutut tidak sempurna
Posisi bokong ditentukan oleh sakrum, ada 4 posisi :
1) Left sacrum anterior (sakrum kiri depan)
2) Right sacrum anterior (sakrum kanan depan)
3) Left sacrum posterior (sakrum kiri belakang)
4) Right sacrum posterior (sakrum kanan belakang)

D. Tanda dan Gejala
1. Pergerakan anak terasa oleh ibu dibagian perut bawah dibawah pusat dan ibu sering merasa benda keras (kepala) mendesak tulang iga.
2. Pada palpasi teraba bagian keras, bundar dan melenting pada fundus uteri.
3. Punggung anak dapat teraba pada salat satu sisi perut dan bagian-bagian kecil pada pihak yang berlawanan. Diatas sympisis teraba bagian yang kurang budar dan lunak.
4. Bunyi jantung janin terdengar pada punggung anak setinggi pusat.

E. Diagnosis
1. Palpasi
Kepala teraba di fundus, bagian bawah bokong ,dan punggung dikiri atau kanan.
2. Auskultasi
DJJ paling jelas terdengar pada tempat yang lebih tinggi dari pusat.
Ddj X djj X
3. Pemeriksaan dalam
Dapat diraba os sakrum, tuber ischii, dan anus, kadang – kadang kaki (pada letak kaki)
Bedakan Antara :
- Lubang kecil - Mengisap
- Tulang (-) - Rahang Mulut
- Isap (-) Anus - Lidah
- Mekoneum (+)
- Tumit - Jari panjang
- Sudut 90 0 Kaki - Tidak rata Tangan siku
- Rata jari – jari - Patella (-)
- Patella Lutut
- Poplitea
4. Pemeriksaan foto rontgen : bayangan kepala di fundus

F. Patofisiologi
Bayi letak sungsang disebabkan :
1. Hidramnion : anak mudah bergerak karena mobilisasi
2. Plasenta Previda : Menghalangi kepala turun ke panggul
3. Panggul Sempit : Kepala susah menyesuaikan ke jalan lahir

G. Penatalaksanaan
1. Sewaktu Hamil
Yang terpenting ialah usaha untuk memperbaiki letak sebelum persalinan terjadi dengen versi luar. Tehnik :
a. Sebagai Persiapan :
1) Kandung kencing harus dikosongkan
2) Pasien ditidurkan terlentang
3) Bunyi jantung anak diperiksa dahulu
4) Kaki dibengkokan pada lutu dan pangkal paha supaya dinding perut kendor.
b. Mobilisasi : bokong dibebaskan dahulu
c. Sentralisasi : kepala dan bokong anak dipegang dan didekatkan satusama lain sehingga badan anak membulat dengan demikian anak mudah diputar.
d. Versi : anak diputar sehingga kepala anak terdapat dibawah. Arah pemutaran hendaknya kearah yang lebih mudah yang paling sedikit tekanannya. Kalau ada pilihan putar kearah perut anak supaya tidak terjadi defleksi. Setelah versi berhasil bunyi jantung anak diperiksa lagi dan kalau tetap buruk anak diputar lagi ketempat semula.
e. Setelah berhasil pasang gurita, observasai tensi, DJJ, serta keluhan.



2. Pimpinan Persalinan
a. Cara berbaring :
- Litotomi sewaktu inpartu
- Trendelenburg
b. Melahirkan bokong :
- Mengawasi sampai lahir spontan
- Mengait dengan jari
- Mengaik dengan pengait bokong
- Mengait dengan tali sebesar kelingking.
c. Ekstraksi kaki
Ekstraksi pada kaki lebih mudah. Pada letak bokong janin dapat dilahirkan dengan cara vaginal atau abdominal (seksio sesarea)

3. Cara Melahirkan Pervaginam
Terdiri dari partus spontan ( pada letak sungsang janin dapat lahir secara spontan seluruhnya) dan manual aid (manual hilfe)
Waktumemimpin partus dengan letak sungsang harus diingat bahwa ada 2 fase :
Fase I : fase menunggu
Sebelum bokong lahir seluruhnya, kita hanya melakukan observasi. Bila tangan tidak menjungkit ka atas (nuchee arm), persalinan akan mudah. Sebaiknya jangan dilakukan ekspresi kristeller,karena halini akan memudahkan terjadinya nuchee arm
Fase II : fase untuk bertindak cepat.
Bila badan janin sudah lahir sampai pusat, tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul, maka janin harus lahir dalam waktu 8 menit.Untuk mempercepatnya lahirnya janin dapat dilakukan manual aid

H. Prognasis
1. Bagi ibu
Kemungkinan robekan pada perineum lebih besar,juga karena dilakukan tindakan, selain itu ketuban lebih cepat pecah dan partus lebih lama, jadi mudah terkena infeksi.



2. Bagi anak :
Prognosa tidak begitu baik,karena adanya ganguan peredaran darah plasenta setelah bokong lahir dan juga setelah perut lahir, talipusat terjepit antara kepala dan panggul, anak bisa menderita asfiksia.
Oleh karena itu setelah tali pusat lahir dan supaya janin hidup,janin harus dilakukan dalam waktu 8 menit.

I. Proses Keperawatan Ibu Dengan Letak Sungsang
1. Pengkajian
a. Aktifitas / Istirahat :
Melaporkan keletihan, kurang energi
Letargi, penurunan penampilan
b. Sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat
c. Eliminasi
Distensi usus atau kandung kencing mungkin ada
d. Integritas ego
Mungkin sangat cemas dan ketakutan
e. Nyeri / Ketidaknyamanan
Dapat terjadi sebelum awitan(disfungsi fase laten primer) atau setelah persalinan terjadi (disfungsi fase aktif sekunder).
Fase laten persalinan dapat memanjang : 20 jam atau lebih lama pada nulipara (rata- rata adalah 8 ½ jam), atau 14 jam pada multipara (rata – rata adalah 5 ½ jam).
f. Keamanan
Dapat mengalami versi eksternal setelah gestasi 34minggu dalam upaya untukmengubah presentasi bokong menjadi presentasi kepala
Pemeriksaan vagina dapat menunjukkan janin dalam malposisi (mis.,dagu wajah, atau posisi bokong)
Penurunan janin mungkin kurang dari 1 cm/jam padanulipara atau kurang dari 2 cm/jam pada multipara
g. Seksualitas
Dapat primigravida atau grand multipara
Uterus mungkin distensi berlebihan karena hidramnion, gestasi multipel,janin besar atau grand multiparitas.
h. Pemeriksaan Diagnosis
- Tes pranatal : dapat memastikan polihidramnion, janin besar atau gestasi multiple
- Ultrasound atau pelvimetri sinar X : Mengevaluasi arsitektur pelvis,presentasi janin ,posisi dan formasi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri (akut) berhubungan dengan Peningkatan tahanan pada jalan lahir
b. Risiko tinggi cedera terhadap maternal berhubungan dengan obstruksi pada penurunan janin
c. Risiko tinggi cedera terhadap janin berhubungan dengan malpresentasi janin
d. Koping individual tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi
3. Intervensi Keperawatan
a. Nyeri (akut ) berhubungan dengan Peningkatan tahanan pada jalan lahir ditandai dengan : Peningkatan tonus otot, pengungkapan, Prilaku distraksi (gelisah, meringis, menangis),wajah menunjukan nyeri

Intervensi :
1) Buat upaya yang memungkinkan klien/pelatih untuk merasa nyaman mengajukan pertanyaan
(Rasional : Jawaban pertanyaan dapat menghilangkan rasa takut dan peningkatan pemahaman)
2) Berikan instruksi dalam tehnik pernafasan sederhana
(Rasional : Mendorong relaksasi dan memberikan klien cara mengatasi dan mengontrol tingkat ketidaknyamanan.
3) Anjurkan klien menggunakan tehnik relaksasi.Berikan instruksi bila perlu
(Rasional : Relaksasi dapat membantu menurunkan tegangan dan rasa takut,yang memperberat nyeri dan menghambat kemajuan persalinan)
4) Berikan tindakan kenyamanan (mis. Masage,gosokan punggung, sandaran bantal, pemberian kompres sejuk, pemberian es batu)
(Rasional : Meningkatkan relaksasi,menurunkan tegangan dan ansietas dan meningkatkan koping dan kontrol klien)
5) Anjurkan dan bantu klien dalamperubahan posisi dan penyelarasan EFM
(Rasional : Mencegah dan membatasi keletihan otot, meningkatkan sirkulasi)
6) Kolaborasi : Berikan obat analgetik saat dilatasi dan kontaksi terjadi
(Rasional : Menghilangkan nyeri, meningkatkan relaksasi dan koping dengan kontraksi,memungkinkan klien tetap fokus)
Kriteria Evaluasi :
- Berpartisipasi dalam perilaku untuk menurunkan sensasi nyeri dan meningkatkan kanyamanan
- Tampak rileks diantara kontraksi
- Melaporkan nyeri berulang / dapat diatasi

b. Risiko tinggi cedera terhadap meternal berhubungan dengan obstruksi mekanis pada penurunan janin
Intervensi :
1) Tinjau ulang riwayat persalinan, awitan, dan durasi
(Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi kemungkinan penyebab, kebutuhan pemeriksaan diagnostik, dan intervensi yang tepat)
2) Evaluasi tingkat keletihan yang menyertai,serta aktifitas dan istirahat sebelum awitan persalinan
(Rasional : Kelelahan ibu yang berlebihan menimbulkan disfungsi sekunder atau mungkin akibat dari persalinan lama)
3) Kaji pola kontraksi uterus secara manual atau secara elektronik
(Rasional : Disfungsi kontraksi memperlama persalinan,meningkatkan risiko komplikasi maternal / janin)
4) Catat penonjolan , posisi janin dan presentasi janin
(Rasional : Indikator kemajuan persalinan ini dapat mengidentifikasi timbulnya penyebab persalinan lama)
5) Tempat klien pada posisi rekumben lateral dan anjurkan tirah baring dan ambulasi sesuai toleransi
(Rasional : Relaksasi dan peningkatan perfusi uterus dapat memperbaiki pola hipertonik.Ambulasi dapat membantu kekuatan grafitasi dalam merangsang pola persalinan normal dan dilatasi serviks)
6) Gunakan rangsang putting untuk menghasilkan oksitosin endogen.
(Rasional : Oksitosin perlu untukmenambah atau memulai aktifitas miometrik untuk pola uterus hipotonik)
7) Kolaborasi : Bantu untuk persiapan seksio sesaria sesuai indikasi,untuk malposisi
(Rasional : Melahirkan sesaria diindikasikan malposisi yang tidak mungkin dilahirkan secara vagina)
Kriteria Evaluasi :
- Tidak terdapat cedera pada ibu

c. Risiko tinggi cedera terhadap janin berhubungan dengan malpresentasi janin
Intervensi :
1) Kaji DDJ secara manual atau elektronik,perhatikan variabilitas,perubahan periodik dan frekuensi dasar.
(Rasional : Mendeteksi respon abnormal ,seperti variabilitas yang berlebih – lebihan, bradikardi & takikardi, yang mungkin disebabkan oleh stres, hipoksia, asidosis, atau sepsis)
2) Perhatikan tekanan uterus selamaistirahat dan fase kontraksi melalui kateter tekanan intrauterus bila tersedia
(Rasional : Tekanan kontraksi lebih dari 50 mmHg menurunkan atau mengganggu oksigenasi dalam ruang intravilos)
3) Kolaborasi : Perhatikan frekuenasi kontraksi uterus.beritahu dokter bila frekuensi 2 menit atau kurang
(Rasional : Kontraksi yang terjadi setiap 2 menit atau kurang tidakmemungkinkan oksigenasi adekuat dalam ruang intravilos)
4) Siapkan untuk metode melahirkanyang paling layak, bilabayi dalam presentasi bokong
(Rasional : Presentasi ini meningkatkan risiko , karena diameter lebih besar dari jalan masuk ke pelvis dan sering memerlukan kelahiran secara seksio sesaria)
5) Atur pemindahan pada lingkungan perawatan akut bila malposisi dideteksi klien dengan PKA
(Rasional : Risiko cedera atau kematian janin meningkat dengan malahirkan pervagina bila presentasi selain verteks)
Kriteria Evaluasi :
- Menunjukan DJJ dalam batas normal dengan variabilitas baik tidak ada deselerasi lambat


d. Koping individual tidak efektif berhubungan dengan krisis situasi
Intervensi Keperawatan :
1) Tentukan kemajuan persalinan , kaji derajat nyeri dalam hubungannya dengan dilatasi / penonjolan
(Rasional : Persalinan yang lama yang berakibat keletihan dapat menurunkan kemampuan klien untuk mengatasi atau mengatur kontraksi)
2) Kenali realitaskeluhan klien akan nyeri /ketidaknyamanan
(Rasional : Ketidaknyamanan dan nyeri dapat disalahartikan pada kurangnya kemajuan yang tidak dikenali sebagai masalah disfungsional)
3) Tentukan tingkat ansietas klien dan pelatih perhatikan adanya frustasi
(Rasional : Ansietas yang berlebihan meningkatkan aktifitas adrenal /pelepasan katekolamin,menyebabkan ketidak seimbangan endokrin,kelebihan epinefrin menghambat aktifitas miometrik)
4) Berikan informasi faktual tentang apa yang terjadi
(Rasional : Dapat membantu reduksi ansietas dan meningkatkan koping)
5) Berikan tindakan kenyamanan dan pengubahan posisi klien.Anjurkan penggunaan tehnik relaksasi dan pernafasan yang dipelajari
(Rasional : Menurunkan ansietas, meningkatkan kenyamanan , dan membantu klien mengatasi situasi secara positif)
Kriteria Evaluasi :
- Mengungkapkan pemahaman tentang apa yang terjadi
- Mengidentifikasi /menggunakan tehnik koping efektif

Selasa, 01 Juni 2010

ASKEP ANAK DENGAN IKTERUS

A. Batasan-Batasan
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):
• Timbul pada hari kedua-ketiga
• Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.
• Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
• Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
• Ikterus hilang pada 10 hari pertama
• Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentu

2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

3. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV.

D. Etiologi
1. Peningkatan produksi :
• Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
• Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
• Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
• Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
• Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
• Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
• Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif
E . Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.



Diagram Metabolisme Bilirubin



ERITROSIT




HEMOGLOBIN



HEM

GLOBIN

BESI/FE
BILIRUBIN INDIREK
( tidak larut dalal air )

Terjadi pada
Limpha, Makofag



BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN ALBUMIN

Terjadi dalam
plasma darah

MELALUI HATI



BILIRUBIN BERIKATAN DENGAN GLUKORONAT/ GULA RESIDU BILIRUBIN DIREK
( larut dalam air )
Hati


BILIRUBIN DIREK DIEKSRESI KE KANDUNG EMPEDU




Melalui
Duktus Billiaris

KANDUNG EMPEDU KE DEUDENUM


BILIRUBIN DIREK DI EKSKRESI MELALUI URINE & FECES


F. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

G. Penata Laksanaan Medis
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manejemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan Anemia
2. Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
3. Meningkatkan Badan Serum Albumin
4. Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat.

Fototherapi
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.
Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
2. Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
3. Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
4. Tes Coombs Positif
5. Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
6. Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
7. Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
8. Bayi dengan Hidrops saat lahir.
9. Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus.
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
1. Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan Serum Bilirubin
4. Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin

Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.


Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.

Penggolongan Hiperbilirubinemia berdasarkan saat terjadi Ikterus:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sbb:
• Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
• Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
• Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
• Kadar Bilirubin Serum berkala.
• Darah tepi lengkap.
• Golongan darah ibu dan bayi.
• Test Coombs.
• Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.

2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
• Biasanya Ikterus fisiologis.
• Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
• Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
• Polisetimia.
• Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).

Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:
• Pemeriksaan darah tepi.
• Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
• Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
• Pemeriksaan lain bila perlu.

3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
• Sepsis.
• Dehidrasi dan Asidosis.
• Defisiensi Enzim G6PD.
• Pengaruh obat-obat.
• Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.


4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
• Karena ikterus obstruktif.
• Hipotiroidisme
• Breast milk Jaundice.
• Infeksi.
• Hepatitis Neonatal.
• Galaktosemia.

Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
• Pemeriksaan Bilirubin berkala.
• Pemeriksaan darah tepi.
• Skrining Enzim G6PD.
• Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.

ASUHAN KEPERAWATAN
Untuk memberikan keperawatan yang paripurna digunakan proses keperawatan yang meliputi Pengkajian, Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi.

Pengkajian
1. Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
2. Pemeriksaan Fisik :
Kuning, Pallor Konvulsi, Letargi, Hipotonik, menangis melengking, refleks menyusui yang lemah, Iritabilitas.
3. Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.

4. Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia (Cindy Smith Greenberg. 1988)

2. Diagnosa, Tujuan , dan Intervensi
Berdasarkan pengkajian di atas dapat diidentifikasikan masalah yang memberi gambaran keadaan kesehatan klien dan memungkinkan menyusun perencanaan asuhan keperawatan. Masalah yang diidentifikasi ditetapkan sebagai diagnosa keperawatan melalui analisa dan interpretasi data yang diperoleh.
1. Diagnosa Keperawatan : Kurangnya volume cairan sehubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, fototherapi, dan diare.
Tujuan : Cairan tubuh neonatus adekuat
Intervensi : Catat jumlah dan kualitas feses, pantau turgor kulit, pantau intake output, beri air diantara menyusui atau memberi botol.
2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan suhu tubuh (hipertermi) sehubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Kestabilan suhu tubuh bayi dapat dipertahankan
Intervensi : Beri suhu lingkungan yang netral, pertahankan suhu antara 35,5 - 37 C, cek tanda-tanda vital tiap 2 jam.
3. Diagnosa Keperawatan : Gangguan integritas kulit sehubungan dengan hiperbilirubinemia dan diare
Tujuan : Keutuhan kulit bayi dapat dipertahankan
Intervensi : Kaji warna kulit tiap 8 jam, pantau bilirubin direk dan indirek , rubah posisi setiap 2 jam, masase daerah yang menonjol, jaga kebersihan kulit dan kelembabannya.
4. Diagnosa Keperawatan : Gangguan parenting sehubungan dengan pemisahan
Tujuan : Orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi : Bawa bayi ke ibu untuk disusui, buka tutup mata saat disusui, untuk stimulasi sosial dengan ibu, anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya, libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan, dorong orang tua mengekspresikan perasaannya.
5. Diagnosa Keperawatan : Kecemasan meningkat sehubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Orang tua mengerti tentang perawatan, dapat mengidentifikasi gejala-gejala untuk menyampaikan pada tim kesehatan
Intervensi :
Kaji pengetahuan keluarga klien, beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya. Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah.
6. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Neonatus akan berkembang tanpa disertai tanda-tanda gangguan akibat fototherapi
Intervensi :
Tempatkan neonatus pada jarak 45 cm dari sumber cahaya, biarkan neonatus dalam keadaan telanjang kecuali mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya; usahakan agar penutup mata tida menutupi hidung dan bibir; matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam; buka penutup mata setiap akan disusukan; ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan.
7. Diagnosa Keperawatan : Potensial trauma sehubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan : Tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan; basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan, neonatus puasa 4 jam sebelum tindakan, pertahankan suhu tubuh bayi, catat jenis darah ibu dan Rhesus serta darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar; pantau tanda-tanda vital; selama dan sesudah tranfusi; siapkan suction bila diperlukan; amati adanya ganguan cairan dan elektrolit; apnoe, bradikardi, kejang; monitor pemeriksaan laboratorium sesuai program.
Aplikasi Discharge Planing.
Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan dirumah.
Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik dalam perawatan bayi hiperbilirubinimea (warley &Wong, 1994):
1. Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.
2. Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk mempertahankan kelancaran air susu.
3. Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar bilirubin bayi.
4. Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal mencegah peningkatan bilirubin.
5. Mengajarkan tentang perawatan kulit :
• Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.
• Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar kulit yang rusak.
• Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban kulit.
• Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
• Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan lecet karena gesekan
• Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan yang lama, garukan .
• Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan bak.
• Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit, capilari reffil.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :
1. Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 -38  celsius)
2. Perawatan tali pusat / umbilikus
3. Mengganti popok dan pakaian bayi
4. Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru
5. Temperatur / suhu
6. Pernapasan
7. Cara menyusui
8. Eliminasi
9. Perawatan sirkumsisi
10. Imunisasi
11. Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
• letargi ( bayi sulit dibangunkan )
• demam ( suhu > 37  celsius)
• muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)
• diare ( lebih dari 3 x)
• tidak ada nafsu makan.
12. Keamanan
• Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.
• Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya
• Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.
• Pengawasan yang ketat terhadap bayi oleh saudara - saudaranya.

askep anak dengan kejang demam

Konsep Kejang Demam
1. Pengertian
Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997:229).

2. Etiologi
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya : tonsilitis ostitis media akut, bronchitis, dll

3. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular, Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya, Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.

4. Prognosa
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian, resiko seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung faktor :
- Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
- Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang
- Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, di kemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13 %, dibanding bila hanya terdapat satu atau tidak sama sekali faktor tersebut, serangan kejang tanpa demam 2%-3% saja (“Consensus Statement on Febrile Seizures 1981”).

5. Manifestasi Klinik
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan kejang dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.
Di Subbagian Anak FKUI RSCM Jakarta, kriteria Livingstone dipakai sebagai pedoman membuat diagnosis kejang demam sederhana, yaitu :

- Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun
- Kejang berlangsung tidak lebih dari 15 menit
- Kejang bersifat umum
- Kejang timbul dalam 16 jam pertamam setelah timbulnya demam
- Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
- Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya satu minggu sesudah suhu normal tidak menunjukkan kelainan
- Frekuensi kejang bangkitan dalam satu tahun tidak melebihi empat kali

6. Penatalaksanaan Medik
Dalam penaggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
a. Pemberantasan kejang secepat mungkin
Pemberantasan kejang di Sub bagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI sebagai berikut :
Apabila seorang anak datang dalam keadaan kejang, maka :
1. Segera diberikan diazepam intravena  dosis rata-rata 0,3 mg/kg
Atau
diazepam rectal dosis  10 kg : 5 mg
bila kejang tidak berhenti ≥ 10 kg : 10 mg
tunggu 15 menit

dapat diulang dengan cara/dosis yang sama
kejang berhenti

berikan dosis awal fenobarbital
dosis : neonatus : 30 mg I.M
1 bulan – 1 tahun : 50 mg I.M
 1 tahun : 75 mg I.M
2. Bila diazepam tidak tersedia, langsung memakai fenobarbital dengan dosis awal dan selanjutnya diteruskan dengan dosis rumat.

b. Pengobatan penunjang
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
1. Semua pakaian ketat dibuka
2. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
3. Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin kebutuhan oksigen
4. Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen
1. Pengobatan rumat
Fenobarbital dosis maintenance : 8-10 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari pertama, kedua diteruskan 4-5 mg/kg BB dibagi 2 dosis pada hari berikutnya.
2. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab kejang demam adalah infeksi respiratorius bagian atas dan astitis media akut. Pemberian antibiotik yang adekuat untuk mengobati penyakit tersebut. Pada pasien yang diketahui kejang lama pemeriksaan lebih intensif seperti fungsi lumbal, kalium, magnesium, kalsium, natrium dan faal hati. Bila perlu rontgen foto tengkorak, EEG, ensefalografi, dll.


Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Kejang Demam
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut. (Santosa. NI, 1989, 154)
Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data melalui observasi (yaitu dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara (yaitu berupa percakapan untuk memperoleh data yang diperlukan), catatan (berupa catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama), literatur (mencakup semua materi, buku-buku, masalah dan surat kabar).
Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi :

 Data subyektif
1. Biodata/Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
2. Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
Apakah betul ada kejang ?
Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan menirukan gerakan kejang si anak
Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam..
Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
Pola serangan
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi mioklonik ?
Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik ?
Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?
Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
Frekuensi serangan
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya ?


Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali ?
Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan lain-lain.
4. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan tindakan ( forcep/vakum ), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang.
5. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.
6. Riwayat Perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.
Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.
7. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita kejang demam mempunyai faktor turunan). Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya ? Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.
8. Riwayat sosial
Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji siapakah yanh mengasuh anak ?
Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya ?
9. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis ?
Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.
Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ?
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
Pola Eliminasi :
BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?

Pola aktivitas dan latihan
Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya ? Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam ? Aktivitas apa yang disukai ?
Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur ? Berangkat tidur jam berapa ? Bangun tidur jam berapa ? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?

 Data Obyektif
1. Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000 hal : 36)
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.
2. Pemeriksaan Fisik
Kepala
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum ?.
Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Muka/ Wajah.
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?
Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas ? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?
Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi ?
Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat ?
Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah pembesaran vena jugulans ?
Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi
Intercostale ? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar ?
Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?
Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi ?

c. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya meliputi :
1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N <> Normal
t. 36,5 – 37,5 ºC (bayi)
t. 36 - 37,5 ºC(anak)
- Denyut nadi lebih cepat
N 110-120x/menit (bayi)
N 100-110x/menit (1 th )
N 80- 90x/menit (5-12th)
- Adanya riwayat kejang
demam
- Kulit teraba panas
- Frekwensi pernafasan me-
ningkat
R.R 30-40x/menit (bayi)
R.R 24-28x/menit (anak )

- Capek
- Kelelahan
- Nyeri otot
- Penurunan kesadaran
- Riwayat kejang demam
- Hasil laboratorium glukosa darah abnormal (<> 37,5º C
- Kulit terasa panas
- Denyut nadi meningkat
- Riwayat infeksi pernafa-san atas, ostitis media akut, pneumonia, saluran kencing, pencernaan.
- Anak gelisah dan tidur terganggu
- Keluarga sering bertanya tentang penyakit anaknya, pengobatan dan perawatannya Hipertemia

Gangguan metabolisme otak

Perubahan keseimbangan dan sel netron

Difusi ion kalium dan
natrium

Lepas muatan listrik

Kejang
(M.E. Sumijati, 2000;103)

Kejang

Berkurangnya koordinasi otot

trauma fisik
(ME. Sumijati, 2000;103)


Kuman penyakit

infeksi

Thermoregulasi
(Hipothalamus)
tak efektif

hipertermi

Kurangnya atau keterbatasan informasi

sering bertanya
(Ngastiyah, 1997:230) Resiko ke-jang berulang
Resiko trauma fisik
Gangguan rasa nyaman
Kurangnya pengetahuan keluarga

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat, dan pasti tentang masalah pasien/klien serta penyebabnya yang dapat dipecahkan atau diubah melalui tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan yang muncul adalah
- Resiko terjadinya kejang ulang berhubungan dengan hiperthermi.
- Resiko terjadinya trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot
- Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi yang ditandai :
1. Suhu meningkat
2. Anak tampak rewel
- Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan keterbatasan informasi yang ditandai : keluarga sering bertanya tentang penyakit anaknya.

3. Perencanaan
Perencanaan merupakan keputusan awal tentang apa yang akan dilakukan, bagaimana, kapan itu dilakukan, dan siapa yang akan melakukan kegiatan tersebut. Rencana keperawatan yang memberikan arah pada kegiatan keperawatan. (Santosa. NI, 1989;160)
4. Diagnosa Keperawatan : Resiko terjadi kejang ulang berhubungan dengan hipertermi.
Tujuan : Klien tidak mengalami kejang selama berhubungan dengan hiperthermi
Kriteria hasil :
1. Tidak terjadi serangan kejang ulang.
2. Suhu 36,5 – 37,5 º C (bayi), 36 – 37,5 º C (anak)
3. Nadi 110 – 120 x/menit (bayi)
100-110 x/menit (anak)
4. Respirasi 30 – 40 x/menit (bayi)
24 – 28 x/menit (anak)
5. Kesadaran composmentis
Rencana Tindakan :
1. Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah menyerap keringat.
Rasional : proses konveksi akan terhalang oleh pakaian yang ketat dan tidak menyerap keringat.
2. Berikan kompres dingin
Rasional : perpindahan panas secara konduksi
3. Berikan ekstra cairan (susu, sari buah, dll)
Rasional : saat demam kebutuhan akan cairan tubuh meningkat.
4. Observasi kejang dan tanda vital tiap 4 jam
Rasional : Pemantauan yang teratur menentukan tindakan yang akan dilakukan.
5. Batasi aktivitas selama anak panas
Rasional : aktivitas dapat meningkatkan metabolisme dan meningkatkan panas.
6. Berikan anti piretika dan pengobatan sesuai advis.
Rasional : Menurunkan panas pada pusat hipotalamus dan sebagai propilaksis
5. Diagnosa Keperawatan : Resiko terjadi trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot.
Tujuan : Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
Kriteria Hasil :
1. Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
2. Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang.
3. Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang.
Rencana Tindakan :
1. Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah.
Rasional : meminimalkan injuri saat kejang
2. Tinggalah bersama klien selama fase kejang..
Rasional : meningkatkan keamanan klien.
3. Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.
Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.
4. Letakkan klien di tempat yang lembut.
Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot volunter berkurang.
5. Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang.
Rasional : membantu menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu.
6. Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang
Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal
6. Diagnosa Keperawatan / Masalah : Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hiperthermi.
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi
Kriteria hasil : Suhu tubuh 36 – 37,5º C, N ; 100 – 110 x/menit,
RR : 24 – 28 x/menit, Kesadaran composmentis, anak tidak rewel.
Rencana Tindakan :
1. Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi.
Rasional : mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh.
2. Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali
Rasional : Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan yang selanjutnya.
3. Pertahankan suhu tubuh normal
Rasional : suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan, kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.
4. Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak .
Rasional : proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.
5. Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun
Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap keringat.
6. Atur sirkulasi udara ruangan.
Rasional : Penyediaan udara bersih.
7. Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum
Rasional : Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.
8. Batasi aktivitas fisik
Rasional : aktivitas meningkatkan metabolismedan meningkatkan panas.

7. Diagnosa Keperawatan / Masalah : Kurangnya pengetahuan keluarga sehubungan keterbataaan informasi.
Tujuan : Pengetahuan keluarga bertambah tentang penyakit anaknya.
Kriteria hasil :
1. Keluarga tidak sering bertanya tentang penyakit anaknya.
2. Keluarga mampu diikutsertakan dalam proses keperawatan.
3. keluarga mentaati setiap proses keperawatan.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
Rasional : Mengetahui sejauh mana pengetahuan yang dimiliki keluarga dan kebenaran informasi yang didapat.
2. Beri penjelasan kepada keluarga sebab dan akibat kejang demam
Rasional : penjelasan tentang kondisi yang dialami dapat membantu menambah wawasan keluarga
3. Jelaskan setiap tindakan perawatan yang akan dilakukan.
Rasional : agar keluarga mengetahui tujuan setiap tindakan perawatan
4. Berikan Health Education tentang cara menolong anak kejang dan mencegah kejang demam, antara lain :
1. Jangan panik saat kejang
2. Baringkan anak ditempat rata dan lembut.
3. Kepala dimiringkan.
4. Pasang gagang sendok yang telah dibungkus kain yang basah, lalu dimasukkan ke mulut.
5. Setelah kejang berhenti dan pasien sadar segera minumkan obat tunggu sampai keadaan tenang.
6. Jika suhu tinggi saat kejang lakukan kompres dingin dan beri banyak minum
7. Segera bawa ke rumah sakit bila kejang lama.
Rasional : sebagai upaya alih informasi dan mendidik keluarga agar mandiri dalam mengatasi masalah kesehatan.
5. Berikan Health Education agar selalu sedia obat penurun panas, bila anak panas.
Rasional : mencegah peningkatan suhu lebih tinggi dan serangan kejang ulang.
6. Jika anak sembuh, jaga agar anak tidak terkena penyakit infeksi dengan menghindari orang atau teman yang menderita penyakit menular sehingga tidak mencetuskan kenaikan suhu.
Rasional : sebagai upaya preventif serangan ulang
7. Beritahukan keluarga jika anak akan mendapatkan imunisasi agar memberitahukan kepada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah menderita kejang demam.
Rasional : imunisasi pertusis memberikan reaksi panas yang dapat menyebabkan kejang demam

4. Pelaksanaan
Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien ( Santosa. NI, 1989;162 )

5. Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa masalah selanjutnya ( Santosa.NI, 1989;162).